SELAMAT DATANG

"Selamat Datang di blog saya, semoga blog ini dapat bermanfaat bagi anda"

12 Mei 2016

Model Pembelajaran: Problem Based Learning dan Discovery Learning


Materi Vektor
1.      Sintak Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Fase-Fase
Perilaku Guru
Fase 1
Orientasi peserta didik pada masalah
·         Menjelaskan tujuan pembelajarn tentang materi vektor yaitu menerapakn prinsip penjumlahan vektor.
·         Memperlihatkan dan menampilkan video atau gambar tentang peristiwa atau hal-hal yang berkaitan dengan penerapan vektor dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya video atau gambar tentang penarikan kapal yang mengalami kecelakaan atau kerusakan di tengah lautan dan harus segera dibawa ke pelabuhan terdekat untuk diperbaiki. Untuk menarik kapal tersebut dibutuhkan dua kapal dengan dilengkapi kawat baja. Agar kapal dapat sampai ke pelabuhan yang dituju, posisi kapal selama perjalanan selama perjalanan tetap stabil besar gaya yang dibutuhkan oleh masing-masing kapal penarik dan sudut yang dibentuk oleh kawat baja harus diperhitungkan secara cermat.
·         Memotivasi peserta didik agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah.
·         Menjelaskan logistik yang dibutuhkan seperti pembentukan tugas kelompok, serta mengarahkan peserta untuk berkumpul dengan kelompoknya masing-masing.    

Fase 2
Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar





·         Membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut yaitu tentang menggambar vektor, resultan vektor, komponen vektor serta mengitung besar arah resultan vektor
·         Mengarahkan peserta didik untuk melakukan kajian teori yang relevan dengan masalah serta mencari narasumber lainnya
Fase 3
Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
Mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai yaitu bagaimana mencari resultan dua vektor sebidang atau mencari resultan dua vektor dengan menerapkan operasi vektor.
Fase 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Membantu peserta didik dalam memecahkan  masalah seperti merencanakan dan menyiapkan laporan serta membantu siswa dalam berbagi tugas dengan temannya.
Fase 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Membantu siswa melakukan refleksi serta evaluasi terhadap penyelidikan peserta didik dalam proses-proses yang dilakukan serta meminta kelompok untuk presentasi.

2.      Sintak Model Pembelajaran Discovery Learning

Fase-Fase
Perilaku Guru
Stimulation
(Pemberian Stimulus)
·         Memberikan stimulus kepada peserta didik berupa pertanyaan yang berkaitan dengan materi vektor. Misalnya “bagaimana cara menguraikan vektor menjadi dua buah vektor yang sebidang?”.
·         Mengajak peserta didik berdiskusi untuk mencari penyebab dan menemukan pemecahan masalah
Problem Satatement
(Mengidentifikasi Masalah)
Membimbing siswa untuk membentuk kelompok yang dilanjutkan dengan disuksi rumusan maslah, tujuan, dan langkah kerja dengan alat dan bahan yang telah tersedia
Data Callecting
(Mengumpulkan Data)
Membimbing peserta didik dalam menyiapkan alat dan bahan berupa necara pegas, busur derajat, benang, paku payung, dan papan triplek yang dilengkapi kertas berpetak dengan tujuan untuk menguraikan vektor menjadi dua buah vektor yang sebidang.
Data Processing
(Mengolah Data)
Membimbing pesera didik dalam mengolah data eksperimen yaitu berupa vasiasi sudut a
Verification
(Menguji Hasil)
Membimbing siswa menguji hasil pengolahan data pengamatan yaitu bagaimana kecenderungan rata-rata hasil pengukuran apakah mempunyai nilai yang sama antar data dengan mengubah-ubah sudut a, serta kesalahan pengukuran dan presentase eror perhitungan pada tiap-tiap data pengukuran.
Generalization
(Menyimpulkan)
Mengarahkan peserta didik agar menyusun kesimpulan dari eksperimen serta mengarahkan peserta didik agar membuat laporan.

Model Discovery Learning

a. Definisi/Konsep

Model Discovery Learning adalah didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Ide dasar Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
Model Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry). Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada kedua istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif. Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).

Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan.

b. Fakta Empirik Keberhasilan Pendekatan dalam Proses dan Hasil Pembelajaran.

Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan Discovery Learning dalam pembelajaran memiliki kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan, antara lain :

1) Kelebihan Penerapan Discovery Learning.

Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui model ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
Model ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannyasendiri.
Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
Membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah padakebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru.
Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
 
2) Kelemahan Penerapan Discovery Learning.

Menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
Tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
Harapan-harapan yang terkandung dalam model ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

c. Langkah-langkah Operasional Implementasi dalam Proses Pembelajaran.


Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan Discovery Learning di kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum antara lain sebagai berikut :


1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)

Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.

2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)

Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.

3) Data Collection (Pengumpulan Data)

Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.
Dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

4) Data Processing (Pengolahan Data)

Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan pengkodean/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

5) Verification (Pembuktian)

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)

Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.