SELAMAT DATANG
"Selamat Datang di blog saya, semoga blog ini dapat bermanfaat bagi anda"
16 September 2010
Putusan Akhir MK tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Halmahera Utara Tahun 2010
Ahli Pemohon PHPU Kab. Halmahera Utara: Maladministrasi Berimplikasi Batal Demi Hukum
Mantan Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan memberi keterangan keahlian terkait perkara Sengketa Pemilukada Kab. Halmahera Utara, Rabu (1/9) di Ruang Sidang Pleno MKRI.
Jakarta, MK Online - Untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemohon, dalam persidangan, Rabu (1/9) di Ruang Sidang Pleno MKRI, menghadirkan dua Ahli untuk memberikan penjelasan. Penjelasan tersebut terkait dengan keberlakuan asas-asas pemilhan umum dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Serta, menjelaskan tentang tindak administratif dan implikasinya dalam Pemilukada ditilik dari perspektif hukum administrasi.
Hal tersebut berkaitan dengan dalil Pemohon yang menyatakan, selama penyelenggaraan Pemilukada di Kabupaten Halmahera Utara (Halut) terdapat beberapa pelanggaran, khususnya yang bersifat adminitratif. Diantaranya adalah para petugas penyelenggara Pemilukada –baik PPK ataupun PPS- tidak memiliki SK (Surat Keputusan) selama bertugas, serta adanya syarat dukungan yang bermasalah dalam pencalonan pasangan calon Hein Namotemo-Rusman Solaeman.
Berkaitan dengan hal itu, Pemohon telah menghadirkan ahli Dian P. Simatupang (Dosen Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia) dan ahli Maruarar Siahaan (mantan Hakim Konstitusi). Dalam paparannya, Dian Simatupang menjelaskan, berdasarkan kepada Pasal 56 UU 32 Tahun 2004 maka dalam hal pencalonan kepala daerah terdapat syarat legalitas dan syarat legitimitas.
Menurutnya, kedua syarat itu merupakan representasi dari dua hal, yakni yuridis dan politis. Dalam praktiknya, seringkali kedua hal ini tidak terpenuhi, baik salah satu diantaranya, maupun keduannya. Ketidakmampuan dalam memenuhi syarat tersebut, lanjut Dian, mengakibatkan tuna administratif atau maladministrasi. Yang akhirnya, akan berimplikasi hukum. “Konsekuensinya adalah batal demi hukum, baik secara internal maupun eksternal,” tuturnya.
Kemudian, menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Dian menjelaskan, jika terjadi pertentangan antara syarat legalitas dengan syarat legitimitas, maka yang diutamakan adalah syarat legitimitas. “Karena syarat legitimitas, secara internal maupun eksternal, berkaitan langsung dengan kepentingan umum. Legitimasi berpengaruh pada kepentingan umum yang harus dilindungi. Karena jika tidak, maka akan terjadi ketidakefektifitasan kerja dan kesulitan dalam mencapai visi misi seorang pemimpin. Ini terkait asas kemanfaatan,” paparnya.
Terkait dengan perkara, Dian mengatakan, terpenuhinya syarat administratif secara faktual –para petugas PPK dan PPS telah disumpah dan menerima upah kerjanya- adalah tidak cukup atau membuat suatu tindakan sah. Menurutnya, dalam konteks administrasi, syarat materiil juga harus terpenuhi, dalam hal ini ialah adanya SK. Begitu pula dalam konteks pencalonan pasangan calon, lanjut Dian, harus sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan, yang biasanya diatur dalam Anggaran Dasar (AD) parpol. “Prinsipnya ialah tidak terpenuhinya dokumen materiil, maka implikasinya adalah tidak sah,” tegasnya.
Sedangkan, ahli Maruarar Siahaan berpandangan, dalam setiap Pemilukada, seharusnya penyelenggara Pemilukada memiliki kemandirian, integritas dan imparsialitas. “Jika ada pasangan yang melakukan intervensi, dapat dilakukan diskualifikasi. Apalagi jika ada tanda tangan yang dipalsukan, atau pengurangan tahapan Pemilukada sampai 150 hari. Apakah jika ada KPU yang yang melanggar hukum akan dibiarkan saja?” ungkap Maruarar setengah bertanya. “Demokrasi yang pura-pura itu harus diakhiri. MK harus memutus dengan adil dan tegas”.
Pemohon juga menghadirkan Ketua Panitia Pengawas Pemilukada (Panwaslukada) Kab. Halut, Rahman Baba. Dalam keterangannya, Rahman mengungkapkan bahwa benar pihaknya telah memberikan rekomendasi kepada Termohon (KPU Halut) terkait dengan adanya perubahan tahapan Pemilukada sebanyak dua kali oleh Termohon. “Atas rekomendasi ini tidak ada tindak lanjut dari KPU,” ujarnya.
Selain itu, Rahman juga membenarkan dalil Pemohon yang menyatakan terdapat 615 surat suara dalam sebuah kantong plastik merah di TPS 37 Kecamatan Tobelo. “Terdapat tiga surat suara telah tercoblos. Tapi akhirnya, pemungutan tetap diakukan pada pukul 2 siang. Surat suara itu tetap dipakai tapi yang tiga (telah tercoblos, red) tidak dipakai,” terangnya.
Saksi KPU Membantah
Terhadap dalil tersebut, saksi Termohon, Markus Loleng (Ketua TPS 37) menjelaskan, surat suara tersebut berada dalam kantong plastik dikarenakan kotak suara masih berada di kantor desa. “Pada tanggal 8 Agustus, sehari sebelum pemungutan suara, ketua KPPS menyuruh saya untuk membawa surat suara menggunakan kantong plastik saja. Nanti kotaknya menyusul,” ucapnya.
Berkenaan dengan legalitas penyelenggara Pemilukada (PPK dan PPS) yang tidak menerima SK juga dibenarkan oleh Rahman. Namun, terhadap dalil ini, Termohon telah menghadirkan saksi Bobi (Ketua PPK Tobelo). Ia mengungkapkan bahwa dirinya telah menerima SK, seperti yang dinyatakan oleh Termohon pada persidangan sebelumnya. “SK-nya kolektif. Kami terima dalam bentuk foto copy. Pada tanggal 10 Juni 2010, sebelum pelantikan,” katanya. “PPS juga terima bersamaan dengan SK PPK,” lanjutnya.
Adapun saksi Derek Leo Pati, seorang perwakilan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, mengungkapkan bahwa yang memiliki kewenangan untuk mendaftarkan pasangan Hein Namotemo-Rusman Solaeman sebagai calon kepala daerah di Halut adalah pengurus lama, yakni kepengurusan Hein Namotemo. Hal ini, menurutnya, berdasarkan kepada surat dari DPP Partai Golkar bertanggal 12 Maret 2010 yang ditandantangani oleh Wakil Ketua Umum dan Sekjend Partai Golkar. (Dodi/mh)
Langganan:
Postingan (Atom)