SELAMAT DATANG

"Selamat Datang di blog saya, semoga blog ini dapat bermanfaat bagi anda"
Tampilkan postingan dengan label Pemilukada. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilukada. Tampilkan semua postingan

18 Februari 2024

Cara Menghitung Perolehan Kursi DPR dengan Metode Sainte Lague

 


Metode Sainte Lague diperkenalkan oleh seorang pakar matematika asal Prancis bernama Andre Sainte Lague pada tahun 1910. 

Metode Sainte Lague didasarkan pada prinsip proporsionalitas, yaitu bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh setiap partai politik harus sebanding dengan jumlah suara yang didapatnya.

Metode ini juga dianggap lebih adil dan menghindari distorsi dalam pembagian kursi, karena tidak memberikan keuntungan kepada partai besar atau kecil.

Aturan mengenai penggunaan metode Sainte Lague tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yaitu dalam Pasal 414 Ayat 1, disebutkan bahwa setiap partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sebesar 4%. Hal ini berarti bahwa partai yang tidak memenuhi ambang batas tak akan diikutsertakan dalam penentuan kursi di DPR-RI.
Adapun untuk penentuan kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, seluruh partai politik akan dilibatkan. Kemudian menilik dari Pasal 415 (2), setiap partai politik yang memenuhi ambang batas akan dibagi dengan bilangan pembagi ganjil 1, yang diikuti secara berurutan dengan bilangan pembagi ganjil 3, 5, 7 dan seterusnya.

Perhitungan Perolehan Kursi DPR dengan Metode Sainte Lague

Berikut adalah langkah-langkah untuk menghitung perolehan kursi anggota DPR-RI dan DPR-D dengan menggunakan metode Sainte Lague:

1. Tentukan jumlah kursi yang tersedia di setiap dapil. Jumlah kursi ini ditetapkan oleh KPU berdasarkan jumlah penduduk di setiap dapil.

2. Hitung jumlah suara sah yang diperoleh oleh setiap partai politik di setiap dapil. Jumlah suara sah ini merupakan penjumlahan dari suara yang diberikan kepada partai politik dan calon anggota legislatif (caleg) dari partai politik tersebut.

3. Bagi jumlah suara sah yang diperoleh oleh setiap partai politik dengan bilangan pembagi ganjil, mulai dari 1, 3, 5, 7, dan seterusnya, sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia di setiap dapil. Hasil pembagian ini disebut sebagai nilai rata-rata tertinggi.

4. Urutkan nilai rata-rata tertinggi dari setiap partai politik secara menurun. Nilai rata-rata tertinggi yang paling besar akan mendapatkan kursi pertama, yang kedua besar akan mendapatkan kursi kedua, dan seterusnya, sampai jumlah kursi yang tersedia di setiap dapil habis.

5. Jika terdapat dua atau lebih partai politik yang memiliki nilai rata-rata tertinggi yang sama, maka kursi akan diberikan kepada partai politik yang memiliki jumlah suara sah yang lebih besar. Jika jumlah suara sah juga sama, maka kursi akan diberikan secara acak oleh KPU.

Berikut dijelaskan contoh perhitungan perolehan kursi di DPR-RI atau DPR-D, menggunakan metode Sainte Lague. 

Sebagai contoh, satu daerah pemilihan (Dapil) memiliki alokasi enam kursi. Dari hasil Pemilu, Partai A mendapat 30.000 suara sah, Partai B mendapat 20.000 suara sah, Partai C mendapat 15.000 suara sah, Partai D mendapat 7.000 suara sah, dan Partai E mendapat 5.000 suara sah. Maka cara menghitung perolehan kursi adalah sebagai berikut:

Cara menghitung untuk kursi pertama:

Penghitungan kursi pertama, Partai A, B, C, D, dan E semuanya dibagi dengan bilangan 1. Hasilnya: 

Partai A: 30.000 dibagi 1 = 30.000 
Partai B: 20.000 dibagi 1 = 20.000 
Partai C: 15.000 dibagi 1 = 15.000 
Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000 
Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000 

Dari pembagian itu, suara paling besar ada Partai A. Sehingga Partai A berhak satu kursi, karena jumlah hasil pembagian suaranya paling banyak yaitu 30.000. 

Cara menghitung untuk kursi kedua:

Penghitungan selanjutnya, Partai A dibagi dengan bilangan 3, sedangkan Partai lainnya tetap dibagi dengan bilangan 1. Hasilnya: 

Partai A: 30.000 dibagi 3 = 10.000 
Partai B: 20.000 dibagi 1 = 20.000 
Partai C: 15.000 dibagi 1 = 15.000 
Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000 
Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000 

Dari pembagian itu, jatah kursi kedua diperoleh Partai B, karena jumlah hasil pembagian suaranya paling banyak yaitu 20.000

Cara menghitung untuk kursi ketiga:

Selanjutnya, menghitung kursi ke-3, Partai A dan Partai B dibagi dengan bilangan 3, sedangkan Partai lainnya tetap dibagi dengan bilangan 1. Hasilnya: 

Partai A: 30.000 dibagi 3 = 10.000 
Partai B: 20.000 dibagi 3 = 6.666 
Partai C: 15.000 dibagi 1 = 15.000 
Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000 
Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000 

Alokasi kursi ke-3 diperoleh Partai C, karena jumlah hasil pembagian suaranya paling banyak yaitu 15.000

Cara menghitung untuk kursi keempat:

Adapun untuk pembagian kursi ke-4, Partai A, Partai B, dan Partai C dibagi dengan bilangan 3, sedangkan partai lainnya tetap dibagi dengan bilangan 1. 

Partai A: 30.000 dibagi 3 = 10.000 
Partai B: 20.000 dibagi 3 = 6.666 
Partai C: 15.000 dibagi 3 = 5.000 
Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000 
Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000 

Partai A kembali meraih satu kursi, karena jumlah hasil pembagian suaranya paling banyak yaitu 10.000

Cara menghitung untuk kursi kelima:

Penghitungan kursi ke-5, Partai A dibagi dengan bilangan 5, Partai B dan Partai C dibagi dengan bilangan 3, dan partai lainnya tetap dibagi dengan bilangan 1. 

Partai A: 10.000 dibagi 5 = 2.000 
Partai B: 20.000 dibagi 3 = 6.666 
Partai C: 15.000 dibagi 3 = 5.000 
Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000 
Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000 

Partai D meraih alokasi 1 kursi, karena jumlah hasil pembagian suaranya paling banyak yaitu 7.000

Cara menghitung untuk kursi keenam:

Penghitungan kursi ke-6, Partai A dibagi dengan bilangan 5, Partai B, Partai C, dan Partai D dibagi dengan bilangan 3, dan partai lainnya tetap dibagi dengan bilangan 1. 

Partai A: 10.000 dibagi 5 = 2.000 
Partai B: 20.000 dibagi 3 = 6.666 
Partai C: 15.000 dibagi 3 = 5.000 
Partai D: 7.000 dibagi 3 = 2.333 
Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000 

Kursi keenam diperoleh Partai B, karena jumlah hasil pembagian suaranya paling banyak yaitu 6.666

Dengan demikian, komposisi perolehan kursi berdasarkan suara partai untuk contoh dapil di atas adalah:

Partai A = 2 kursi
Partai B = 2 kursi
Partai C = 1 kursi
Partai D = 1 kursi
Partai E = 0 kursi
Total Kursi = 6 kursi.

Terima Kasih, semoga bermanfaat...


09 Desember 2015

HASIL SEMENTARA PILKADA HALMAHERA UTARA TAHUN 2015

Pada gelaran Pemilihan kepala daerah (Pilkada) hari ini, Rabu 9 Desember 2015, di kabupaten Halmahera Utara (Halut) dilaksanakan untuk memilih pasangan calon (Paslon) Bupati dan wakil Bupati periode lima tahun ke depan.

Penghitungan suara manual oleh KPU diawali pada tempat pemungutan suara (TPS). Perhitungan tersebut dilakukan oleh KPPS setelah pemilih selesai melakukan pencoblosan.

Hasil hitung tersebut selanjutnya akan dilaporkan ke tingkat PPS di KPUD untuk dilakukan rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara. Hasil inilah yang nantinya akan menentukan pasangan mana yang unggul dan menjadi pemenang untuk duduk di kursi tertinggi di daerah ini.

Sementara itu, ada pula pihak lain yang melakukan hitungan, seperti pihak independen atau dari pasangan itu sendiri. Metode yang digunakan adalah hitung cepat / quick count ataupun real count dengan mengambil contoh hasil penghitungan surat suara di beberapa TPS. Biasanya hasil persentase tidak jauh dengan hasil hitung manual KPU. Namun demikian hasil KPU-lah yang dianggap sah oleh KPU.

Berikut Hasil perolehan suara Pasangan calon Bupati dan wakil Bupati di Halmahera Utara 2015:
1. Frans Maneri - Muhlis Tapitapi (FM-Mantap). Perolehan: 30.962 (31,31%).
2. John R Pattiasina - Nuraini Konofo (Ferry-Nurain). Perolehan: 12.504 (12,19%).
3. dr Herianto Tantry - Djasmin Rainu (Cun-Djas). Perolehn: 16.763 (16,95%).
4. Dr Piet Hein Babua - Samsul Bahri Umar (Piet-Sam). Perolehan: 13.580 (13,73%).
5. Dr Kasman Hi Ahmad - Imanuel Lalonto (Kace-On). Perolehan: 25.523 (25,85%).
Hingga saat ini 10/12/2015, Suara sisa yang belum masuk: 1.202 suara.

16 September 2010

Putusan Akhir MK tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Halmahera Utara Tahun 2010

Putusan MK (16/09/2010):
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Halmahera Utara Tahun 2010
DITOLAK SELURUHNYA
selengkapnya... klik http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%20155%20Halmahera%20Utara.pdf

Ahli Pemohon PHPU Kab. Halmahera Utara: Maladministrasi Berimplikasi Batal Demi Hukum


Mantan Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan memberi keterangan keahlian terkait perkara Sengketa Pemilukada Kab. Halmahera Utara, Rabu (1/9) di Ruang Sidang Pleno MKRI.

Jakarta, MK Online - Untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemohon, dalam persidangan, Rabu (1/9) di Ruang Sidang Pleno MKRI, menghadirkan dua Ahli untuk memberikan penjelasan. Penjelasan tersebut terkait dengan keberlakuan asas-asas pemilhan umum dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Serta, menjelaskan tentang tindak administratif dan implikasinya dalam Pemilukada ditilik dari perspektif hukum administrasi.

Hal tersebut berkaitan dengan dalil Pemohon yang menyatakan, selama penyelenggaraan Pemilukada di Kabupaten Halmahera Utara (Halut) terdapat beberapa pelanggaran, khususnya yang bersifat adminitratif. Diantaranya adalah para petugas penyelenggara Pemilukada –baik PPK ataupun PPS- tidak memiliki SK (Surat Keputusan) selama bertugas, serta adanya syarat dukungan yang bermasalah dalam pencalonan pasangan calon Hein Namotemo-Rusman Solaeman.

Berkaitan dengan hal itu, Pemohon telah menghadirkan ahli Dian P. Simatupang (Dosen Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia) dan ahli Maruarar Siahaan (mantan Hakim Konstitusi). Dalam paparannya, Dian Simatupang menjelaskan, berdasarkan kepada Pasal 56 UU 32 Tahun 2004 maka dalam hal pencalonan kepala daerah terdapat syarat legalitas dan syarat legitimitas.

Menurutnya, kedua syarat itu merupakan representasi dari dua hal, yakni yuridis dan politis. Dalam praktiknya, seringkali kedua hal ini tidak terpenuhi, baik salah satu diantaranya, maupun keduannya. Ketidakmampuan dalam memenuhi syarat tersebut, lanjut Dian, mengakibatkan tuna administratif atau maladministrasi. Yang akhirnya, akan berimplikasi hukum. “Konsekuensinya adalah batal demi hukum, baik secara internal maupun eksternal,” tuturnya.

Kemudian, menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Dian menjelaskan, jika terjadi pertentangan antara syarat legalitas dengan syarat legitimitas, maka yang diutamakan adalah syarat legitimitas. “Karena syarat legitimitas, secara internal maupun eksternal, berkaitan langsung dengan kepentingan umum. Legitimasi berpengaruh pada kepentingan umum yang harus dilindungi. Karena jika tidak, maka akan terjadi ketidakefektifitasan kerja dan kesulitan dalam mencapai visi misi seorang pemimpin. Ini terkait asas kemanfaatan,” paparnya.

Terkait dengan perkara, Dian mengatakan, terpenuhinya syarat administratif secara faktual –para petugas PPK dan PPS telah disumpah dan menerima upah kerjanya- adalah tidak cukup atau membuat suatu tindakan sah. Menurutnya, dalam konteks administrasi, syarat materiil juga harus terpenuhi, dalam hal ini ialah adanya SK. Begitu pula dalam konteks pencalonan pasangan calon, lanjut Dian, harus sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan, yang biasanya diatur dalam Anggaran Dasar (AD) parpol. “Prinsipnya ialah tidak terpenuhinya dokumen materiil, maka implikasinya adalah tidak sah,” tegasnya.

Sedangkan, ahli Maruarar Siahaan berpandangan, dalam setiap Pemilukada, seharusnya penyelenggara Pemilukada memiliki kemandirian, integritas dan imparsialitas. “Jika ada pasangan yang melakukan intervensi, dapat dilakukan diskualifikasi. Apalagi jika ada tanda tangan yang dipalsukan, atau pengurangan tahapan Pemilukada sampai 150 hari. Apakah jika ada KPU yang yang melanggar hukum akan dibiarkan saja?” ungkap Maruarar setengah bertanya. “Demokrasi yang pura-pura itu harus diakhiri. MK harus memutus dengan adil dan tegas”.

Pemohon juga menghadirkan Ketua Panitia Pengawas Pemilukada (Panwaslukada) Kab. Halut, Rahman Baba. Dalam keterangannya, Rahman mengungkapkan bahwa benar pihaknya telah memberikan rekomendasi kepada Termohon (KPU Halut) terkait dengan adanya perubahan tahapan Pemilukada sebanyak dua kali oleh Termohon. “Atas rekomendasi ini tidak ada tindak lanjut dari KPU,” ujarnya.

Selain itu, Rahman juga membenarkan dalil Pemohon yang menyatakan terdapat 615 surat suara dalam sebuah kantong plastik merah di TPS 37 Kecamatan Tobelo. “Terdapat tiga surat suara telah tercoblos. Tapi akhirnya, pemungutan tetap diakukan pada pukul 2 siang. Surat suara itu tetap dipakai tapi yang tiga (telah tercoblos, red) tidak dipakai,” terangnya.

Saksi KPU Membantah
Terhadap dalil tersebut, saksi Termohon, Markus Loleng (Ketua TPS 37) menjelaskan, surat suara tersebut berada dalam kantong plastik dikarenakan kotak suara masih berada di kantor desa. “Pada tanggal 8 Agustus, sehari sebelum pemungutan suara, ketua KPPS menyuruh saya untuk membawa surat suara menggunakan kantong plastik saja. Nanti kotaknya menyusul,” ucapnya.

Berkenaan dengan legalitas penyelenggara Pemilukada (PPK dan PPS) yang tidak menerima SK juga dibenarkan oleh Rahman. Namun, terhadap dalil ini, Termohon telah menghadirkan saksi Bobi (Ketua PPK Tobelo). Ia mengungkapkan bahwa dirinya telah menerima SK, seperti yang dinyatakan oleh Termohon pada persidangan sebelumnya. “SK-nya kolektif. Kami terima dalam bentuk foto copy. Pada tanggal 10 Juni 2010, sebelum pelantikan,” katanya. “PPS juga terima bersamaan dengan SK PPK,” lanjutnya.

Adapun saksi Derek Leo Pati, seorang perwakilan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, mengungkapkan bahwa yang memiliki kewenangan untuk mendaftarkan pasangan Hein Namotemo-Rusman Solaeman sebagai calon kepala daerah di Halut adalah pengurus lama, yakni kepengurusan Hein Namotemo. Hal ini, menurutnya, berdasarkan kepada surat dari DPP Partai Golkar bertanggal 12 Maret 2010 yang ditandantangani oleh Wakil Ketua Umum dan Sekjend Partai Golkar. (Dodi/mh)